Assalamua'alaikum
Nice
to Read.....
Good
article to share with all of you
Burung
Besi
Setelah
Papa lulus dari sekolah penerbangan Perancis, beliau menikah dengan mamaku.
Papa seorang kulit hitam, namanya Charles Jacquet, mamaku
seorangkulit putih, namanya Isabell Louvrett. Keluargaku cukup demokratis, oleh karena itu, bagi Papa,
pernikahan tidak memandang perbedaan kulit.
Cara
berpikir itu pula yang mendorong Papa untuk pindah ke Amerika. Baginya dunia
itu luas, di manapun kita berada, asal mau berusaha, pasti kita menjadi
seseorang. Oleh karena itu kami pindah ke Portland.
Papa ditawari menjadi penerbang di suatu perusahaan. Di sana beliau menjadi Pilot pesawat Air Bus dan menerbangkan pesawat ke
banyak wilayah di Amerika.
Papa
mempunyai sebuah cita-cita. Ada
sebuah pesawat yang sangat dicintainya.
Kecepatannnya luar biasa, mach2, selain itu bodinya sempurna.
Pesawat kebanggaan Amerika ini menjadi cita-cita papaku.
Namanya
F-16. "Voir ma dear, lihat sayang," Ujar Papa suatu kali di pangkalan
pesawat terbang, tempatnya bekerja. Beliau menunjuk ke sebuah pesawat
indah.Itulah F-16. "Suatu hari, Papa akan menaikinya, begitu pula dengan
Mama dan kamu ma pouppette."
Saat
itulah aku tahu, betapa tingginya cita-cita Papa. Beliau bukan berasal sekolah militer, dan
bukan warga negara asli Amerika. Hampir tidak mungkin baginya untuk menjadi
anggota AU Amerika. Tapi cita-cita itu tetap
dipegangnya
dengan teguh dalam hati. Ya, cita-cita indah tentang menaiki burung besi yang bagaikan
seekor rajawali.Tujuh tahun telah berlalu sejak kepindahan kami. Usiaku sudah
12 tahun. Papa
kini menjadi salah
satu
pegawai yng disegani di perusahaannya. Mama juga meneruskan kuliahnya, dia
mengambil jurusan sastra Perancis. Jelas terlihat pada dirinya, betapa
ia
masih mencintai Perancis. Di rumah pun, bahasa Inggris masih terbatas
pemakaiannya. Hampir sepanjang hari mama berbicara dengan bahasa Perancis.
Terkadang
kalau kami bepergian dengan taksi, mama suka tiba-tiba berkata, "Conduisez-moi
a...ups, I mean, take me to..."
Kalau
sudah begitu, papa dan aku hanya bisa tertawa kecil.
Teman-temanku
di sekolah pun cukup heran dengan keberagaman keluargaku.
Apalagi
kalau ada pertemuan orangtua murid di sekolah. Guru-guruku selalu memanggil nama mamaku
bekali-kali, padahal beliau sudah ada di hadapan mereka. Maklum, kulitku hitam
seperti Papa, walaupun mataku biru seperti
mama.
Tapi ini semua membuatku bangga. Tidak semua anak beruntung sepertiku. Ya, kan?
Segala
sesuatunya berjalan normal, Papa bekerja, Mama kuliah, dan aku sekolah. Tapi suatu hari, sesuatu
yang benar-benar merubah kami sekeluarga. " Jai
faim, Mama. Saya lapar, Mama," ujarku kepada Mama ketika tiba-tiba Papa masuk tanpa mengetuk pintu dahulu.
Karena Papa
baru
pulang setelah seminggu penuh bekerja, aku segera berlari menujunya, biasanya,
Papa akan langsung menggendongku sambil mengajakku bercanda. Tapi hari itu, dia hanya mengelus kepalaku, sambil
tersenyum, dalam sekali. Lalu, tanpa basa-basi, Papa memeluk
Mama, dan mulai menangis, pelan. Saat itu,
pertama
kalinya aku melihat laki-laki yang
paling kubanggakan menangis seperti itu. Saat itu, aku hanya memandangi, dan tidak tahu apa yang
terjadi .Ketika
melihatku,Mama
segera berkata, "Aller pour tranguille, dear, I'll bring your dinner, in a few minutes, okay?" ujar Mama lembut.
Aku lalu naik ke atas dengan
perasaan
bingung. Selama 3 jam Mama dan Papa ngobrol di bawah, sepertinya menggunakan bahasa Perancis yang
"complicated" sekali. Perutku yang lapar tidak terasa lagi, aku hanya ingin
tahu, ada apa di bawah sana.
Esok
paginya aku terbangun. Rupanya semalam aku ketiduran. Cepat-cepat aku turun ke bawah. Hari ini hari
Sabtu, sekolah libur. Begitu sampai di bawah,sudah ada Papa dan Mama menunggu
di meja makan. Wajah mereka cerah sekali, bahkan jauh lebih tenang dari biasanya. Seperti ada
jiwa baru di mata mereka yang membuat segala sesuatunya lebih baik.
"Bonjour, ma
pouppete,"
Ujar Papa sambil menenggak kopi hangatnya. "How's your sleep
dear? Waktu mama ke kamarku semalam, kamu sudah tertidur. Jadi, pagi ini ada masakan
istimewa, omelet kesukaanmu." Keduanya
tampak
berseri.
Tapi kebingunganku, belum juga reda. Papa melihat itu, lalu menyuruhku
duduk di dekatnya.
"Siapa
Tuhanmu, Anna?" Pertanyaan Papa yang aneh dan tidak biasa itu mengejutkanku. Papa belum pernah
bertanya seperti itu, bahkan menyinggung-nyinggung hal itu pun jarang. Iya,
kami merayakan natal setiap
tahun, seperti orang lain. Setiap Paskah selalu ada ayam kalkun di meja makan. Terkadang kami ke gereja,
di rumahku juga ada Bible. Tapi mempelajarinya?
Membukanya pun, hanya pada saat-saat khusus itu. Papa, atau Mama, yang memang sangat
demokratis, benar-benar tidak peduli tentang itu. Aku pun tidak, selama kami bahagia, itu sudah
cukup. Tapi kujawab juga
pertanyaan papa, sepanjang pengetahuanku. "Yesus, Papa," Jawabku.
"Lalu
bagaimana dengan Tuhan Bapa?" Pertanyaan Papa benar-benar membingungkanku."D-Dia
juga, Papa," jawabku ragu "Lalu, Roh Kudus?" Hatiku gelisah, apa maksudmu Papa?
"Iya!
Dia juga Tuhan!"
"Lalu,
ada berapa Tuhan kalau begitu?" Aku teringat kata pastur yang masih membingungkanku sampai
sekarang."Semuanya satu Papa, hanya satu!"
"Kamu
yakin Anna? Apa tiga sama dengan satu?" Aku terdiam. Aku gelisah dan heran, apa maksud papa
bertanya seperti ini. Lalu Papa merubah pertanyaannya.
"Menurutmu,
kalau ada, misalnya, dua yang sempurna, diberi kesempatan untuk menguasai
dunia, apa yang mereka lakukan?" Tanya Papa.
"Bi-bisa
saja mereka berebut atau bekerja sama, Papa," jawabku.
"Misalnya
mereka bekerja sama, dan yang satu tidak setuju dengan yang lainnya apa yang bakal
terjadi?"
"Me-mereka
akan bertengkar Papa."
"Tepat,
my little, pouppete, satu lagi kalaupun mereka bekerja sama bukanlah pola pikir
mereka sama, sehingga dalam menciptakan sesuatupun sama. Apakah perlu dua orang
kalau begitu?" tanya Papa.
"Tidak
Papa, satupun cukup." Papa lalu tersenyum mendengar ucapanku.
"Kalau
begitu, apa perlu Tuhan yang banyak?" Aku terdiam. Jauh di dalam hatiku
seperti ada sinar terang. Ya, aku memang baru berumur dua belas tahun, tapi
perasaan itu benar-benar terasa di dalam hatiku.
"Tidak
Papa, cukup satu," jawabku mantap. Tiba-tiba air mata Papa tumpah,Mama juga. Dengan suara
bergetar, Papa bertanya."Terakhir dear, apa kamu percaya Tuhan?"
Saat itu, bagaikan sekelilingku
benar-benar sunyi
senyap.
Aku teringat betapa indah semua pertanyaan
yang pernah kualami. Melihat bintang-bintang di planetarium, alam
Perancis yang luar biasa, bukan hanya
itu, segala sesuatu yang pernah kulihat selama
ini
Pasti
ada yang membuat. Di pelajaran Biologi di sekolah, benda hidup tidak mungkin berasal dari benda
mati. Kalau begitu, pasti segala sesuatu ini ada yang meciptakan, dan itu
adalah...
"Ya,
Papa. I believe in God." Kedua orang tuaku tesenyum. Damai sekali.Tanpa sadar aku menitikan
air mata, seperti aku baru terbangun dari mimpi panjang , dan pertama kali
melihat cahaya. Rupanya ini yang membuat Papa
menangis.
Kembalinya
keyakinan dalam dirinya. Ya, Papa telah menemukan Tuhannya.
Dan
kini aku ingin mengetahuinya.
"Allah,
Tuhan kita, Anna." Perlahan Papa mulai bercerita," Papa menemukan Dia saat mendengar seorang teman Papa, muslim
yang membaca kitabnya dengan bahasa yang asing sekali bagi Papa.
Tapi hati Papa bergetar, walau tidak tahu artinya, hati Papa benar-benar tergetar. Saat Papa
menanyakan artinya, teman Papa menjawab, 'Sesungguhnya bumi Allah itu luas, dan
rezeki Allah berlimpah di mana-mana'. Papa kaget. Itu prinsip hidup
Papa
selama ini! Papa tidak menyangka, prinsip hidup Papa yang selama ini banyak
ditentang, ada di suatu kitab. Apa itu kebenaran? Lalu papa meminta teman Papa
membacakannya ayat-ayat lain, dan hati Papa seperti disiram air sejuk."
"Anna,
Mama pun merasakan itu. Tadi malam Papamu menceritakan semuanya.
Inilah
yang Mama belum dapatkan selama ini. Islam! Menyembah Tuhan yang satu! Inilah jalan hidup yang
Mama dan Papa cari. Bertahun-tahun, ya kau tahu sendiri Anna, hidup bahagia, tapi hati penuh kegelisahan.
Dan
kini,hanya
dengan sepotong ayat saja, Papa dan Mama merasakan hidup yang sebenarnya. Anna, kau masih
kecil, kami tidak memaksamu, tapi apa kau merasakan sesuatu? Coba rasakan di
dasar hatimu, my little pouppete."
Aku
tidak bisa berkata, tapi kepalaku kuanggukan. Dengan penuh keyakinan. Ya, aku masih kecil, tapi aku sudah
merasakannya, getaran itu benar-benar menggema ke
seluruh tubuhku.
Pagi
itu, sarapan kami terasa penuh makna. Seperti ruang-ruang kosong di relung hati, terisi sedikit
demi sedikit. Bahkan sinar matahari pun terasa lebih jauh-lebih rendah.
***
Hari
itu juga, kami ke rumah teman Papa, Mr.Ahmad Brown, dia sudah masuk Islam selama lima tahun.
Dia Angkatan Udara Amerika Serikat yang sedang
cuti. Papa bilang, di AU, perkembangan Islam sangat pesat. Terutama dari golongan orang kulit hitam.
Papa
memiliki banyak kenalan dari AU, karena-seperti yang kalian
tahu-kecintaannya
pada pesawat F-16. Rupanya Papa mencuri-curi tahu ke mana saja pesawat itu
berdinas, bagaimana onderdilnya, dan banyak lagi.
Kami
bertiga diajak oleh teman Papa ke sebuah masjid sederhana diPortland. Tempat
ini merupakan salah satu tempat syiar Islam yang masih jarang ditemukan di
Portland. Kami bertiga masuk ke dalam dan
melihat
beberapa orang sedang sujud, membaca kitab, atau bergumam-gumam. Wajah mereka
tenang sekali. Beberapa adalah orang Amerika asli, atau juga berkulit hitam
seperti Papa. Tapi yang paling banyak
adalah orang Asia. Teman Papa lalu
mengajak kami bertemu pemimpin agama, pastur kalau di Kristen. Lalu
secara sederhana, saat Papa minta
diislamkan, dengan mata yang berkaca-kaca, dia menyuruh kami mengikuti perkataannya, "Asyhadu
anla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, I witness that there
is no God except Allah, and I witness that Muhammad is his messenger." Singkat, tanpa perlu
ritual berlebihan. Beliau lalu memberikan kami masing-masing sebuah kitab.
"This
is Koran. Bacalah, pelajari. Tidak usah terlalu di buru. Ini jugasebuah kitab fiqih untuk
mempelajari Islam, banyak buku yang bisa kalian pinjam dan pelajari, dan
kami semua siap membantu. Apa saja. Bersabarlah, remember, Actually God is with whom is patient."
***
Kami
sekeluarga perlahan-lahan mulai mempelajari Islam. Setiap habis Maghrib, selama
satu jam sampai waktu Isya' kami belajar membaca Al-Qur'an. Kalau Papa pergi tugas, istri Mr. Ahmad yang
membantu. Islam perlahan-lahan
mulai menjadi tiang penyangga hidup kami.
***
Namun,
tidak semuanya berjalan mulus. Terutama bagi Mama. Beliau mulai memakai kerudung. Dan pakaiannya,
benar-benar mencerminkan muslimah.
Tapi,
teman-teman di kampusnya mulai menjauhinya. Hanya beberapa yang, yang benar-benar demokratis mau
berteman dengannya. Untunglah, teman-teman
muslimah
bertambah banyak. Sehingga Mama tidak merasa sendiri. Tapi ada satu hal yang terberat. Saat Mama menceritakan keislamannya kepada orangtuanya, Grandma terutama, marah
besar. Saat mama berbicara
ditelpon,
air matanya tumpah. Lalu tiba-tiba ia diam, kemudian memanggil-manggil,
"Mama,
oh Mama, mama." Teleponnya diputuskan. Mama hanya bisa bersandar didada
Papa sambil menangis. Papa terus berkata, "Actually God is with whom is patient, Ma Cherie. He
is. He is.
Di
sekolah, teman-temanku tetap bersikap baik. Bahkan mereka suka bertanya yang
aneh-aneh. Seperti, "Dalam Islam, ada Santa Klausnya, nggak?" atau
"Wah, asik dong. Kamu ngak usah ke gereja lagi tiap minggu." Dan
banyak komentar lagi komentar lain. Sekolahku memang
multi
etnik, dan sangat liberal. Selama tidak mengganggu mereka, semua akan seperti
biasa saja. Walaupun ada juga orangtua atau guru yang sinis, hal itu tidak
kupedulikan. Mereka saja yang berpikir terlalu sempit.
***
Setahun
berlalu, tiba-tiba di negara bagian ini muncul desas-desus mengerikan. Kabarnya orang-orang
kulit hitam banyak yang tiba-tiba menghilang. Banyak yang mengatakan bahwa
mereka menjadi korban
penculikan sekte-sekte fanatik ras kulit putih. Polisi,
FBI, sudah diturunkan
ke berbagai kota, tapi hasilnya secara konkret belum juga muncul. Papa sangat khawatir.
"Isabell,
aku akan cuti. Atasanku memaklumi. Lagipula aku belum mengambil cutiku yang sebulan.
Dan kini, tugasku untuk menjaga kalian. Setidak-tidaknya sampai keadaan
mereda. Oke? J'etaime I don't want to
lose
you." Situasi benar-benar gawat.
Sudah beberapa mayat yang hilang yang ditemukan,dengan kondisi memilukan. Para maniak itu bahkan
selalu
meninggalkan
pesan mengerikan, bahwa tidak jarang jorok, 'Die you Negros!, atau 'Pig's skin
ever better than your!" dan banyak lagi. Perlindungan bagi kaum kulit
hitam
dari Harlem. Kemarin, mayat seorang pastur kulit hitam ditemukan. Aku khawatir
dengan Papa. " Don't worry ma pouppete. Allah with us. Kita harus berani,
dan
selalu
waspada. Okay?"
Sampai
hari itu. Hari dimana semua kebahagiaanku direnggut. Papa sedang berkendara dari kota. Kami sedang
dalam pejalanan pulang. Karena ada pemblokiran jalan, kami terpaksa lewat jalan
kecil. Malam itu sepi
sekali.Tiba-tiba
di tengah jalan, tedengar bunyi tembakan. Papa cepat-cepat mengerem. Ternyata
ban kami pecah. Lalu, muncul orang-orang bertudung putih, berjalan mendekat sambil
membawa obor dan senjata. Pakaian mereka putih,dengan lambang salib
terbalik. Aku ketakutan, Mama juga, tapi Papa memegang tangan kami sambil teus
berkata, "Ingat, apapun yang terjadi,
Allah
selalu bersama kita, Macherie."
Mereka
menyuruh kami turun dari mobil. Kalau tidak, mereka mengancam kepala kami akan ditembak. Papa
menurut. Lalu kami digiring ke dalam hutan, perjalanannya cukup jauh, aku ingin
menangis, tapi aku percaya, aku
harus
kuat. Kami
tiba di sebuah lapangan luas. Di sana ada lebih banyak lagi orang-orang bertudung putih.
Mereka beteriak kasar, bersorak-sorai, sambil membakar
kayu-kayu. Pandanganku lalu tertuju ke sebuah penjara
kayu. Panjang, dan
didalamnya,banyak orang kulit hitam! Kami didorong ke sana. Tiba-tiba Mamaku ditarik
lengannya."Lepaskan istriku!" Papa coba berontak. Mama berusaha untuk lepas, tapi sia-sia. Orang
tiba-tiba berkata.
"Wanita
ini seorang kulit putih. Tapi lihat! Keluarganya Negro, cih, menjijikan!
Tubuhnya sudah ternoda oleh si hitam itu! Negro hina! Dan, apa ini?" Ujarnya sambil
menarik kerudung Mama, "Ini benda yang dipakai
wanita-wanita
Islam itu. Cih! Ini lebih hina lagi. Tidak ada
pantas-pantasnya,
bahkan untuk di muka bumi ini! Mau apakan dia?"
Ujarnya
sambil berteriak keras. "Bakar!
Bakar! Bakar!" orang-orang itu muali menjadi liar. Lalu orang
tadi berkata lagi, "Semua ingin kau bakar. Tapi demi ras kulit putih kita, kuberi
kau kesempatan. Tinggalkan
keluargamu, juga Islammu. Kau akan kami bebaskan, setuju?" Papa tiba-tiba
berteriak. "Isabell!
Lakukan! Lebih baik seorang dari kita selamat! Lakukan!
Lakukan!"
Tepat setelah itu. Kulihat mata biru mama dengan penuh keyakinan menatap tajam
kepada orang itu, lalu berkata.
"Aku
tidak akan melepaskan agamaku walaupun kulitku lepas dari dagingnya. Dan aku
tidak akan meninggalkan keluargaku, walau nyawa taruhannya!" Orang itu
gemetar, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengurung mamaku juga. Kami dilempar ke dalam, bersama
orang-orang kulit hitam lainnya. Tubuh mereka kurus sekali, badannya penuh
luka. Banyak juga wanita dan
anak-anak seusiaku. Beberapa tampak berasal dari
keluarga miskin, tapi ada juga yang berada sepertiku.
Seorang laki-laki tiba-tiba berbicara kepadaku.
"Hari
ini mereka akan membunuh lima orang dari kita." Lalu anak lain menyahut.
"Lalu,
mayatnya dibawa entah kemana...seperti ayahku," gadis kecil itu
menerangkan, lalu menangis. Mamaku lalu memeluknya dan bertanya."Tidak
adakah yang bisa kita lakukan?"
Tiba-tiba seorang berbisik kepada Papa. Papa mengangguk, sebentar wajahnya tenang, lalu pucat sekejap dan
tenang kembali. Ada apa, Papa? Papa mendekat kepadaku dan Mama, lalu berkata
pelan. "Mereka telah mematahkan
sala satu dari kayunya. Akan cukup bagi
anak-anak dan wanita untuk keluar. Anna, kamu seorang pandu di sekolah,
bawa mereka
ke tempat pemblokiran polisi tadi, Isabell, kau jaga para wanita dan
anak-anak
ini. Okay?" belum sempat aku membantah, Mama cepat-cepat memotong sambil memegang kedua tangan Papa. "Charles, bagaimana denganmu?
Bagaimana
kau keluar? Aku tidak mau pergi
sendiri!" Air mata mama mulai tumpah, Papa memandangku dengan sangat
dalam.Lalu Mama jatuh ke pelukan Papa, menangis sambil mengucap nama
Allah. Aku menyelinap masuk di antara
mereka, dan ikut menangis.
***
"Ayo
saatnya sudah tiba. Anna, bawa anak-anak keluar, juga para wanita. Depechez
vous! Cepatlah! Mumpung mereka sedang tertidur, Papa dan lainnya akan menahan
mereka dari sini! Cepat lari!" Setelah semuanya keluar, aku kembali ke
Papa. Tidak, tidak mungkin aku meninggalkan Papa. Tepat saat semuanya berjalan
sempurna, tepat saat kami menemukan kehidupan di
jalan
yang lurus. Aku tidak rela, Papaku yang kucinta. Sang Pilot yang kukagumi. Ma
Papa. "Ayolah Anna. Yang lain membutuhkanmu." "Tapi Papa, kenapa harus begini? Tidak Papa!
Tidak!" "Chest-la-vie. Kamu
harus
tabah,
ma pouppet. Kalau Papa memang harus
pergi
bukankah
Papa akan pegi ke tempat yang lebih baik? Ke sisi Allah. Prier to Dieau.
Kita akan bertemu lagi, Okay?" Papa lalu mencium keningku, lama,
sampai
kurasakan air matanya mengalir di keningku.
"Come
on, Anna dear," Mama memanggilku. Dia Lalu mematap lekat kepadaku Papa." A toute a I'huere.
I'll be missing you," Lama sekali keduanya bertatapan,
lalu dengan lembut Papa mencium kening Mama. Dan berkata
berkali-kali. "J'etaime macherie.
J'etaime. J'etaime Isabell, J'etaime Anna. J'etaime..." Lalu perlahan dilepaskannya
pegangannya," Allez vous-en! Lari sejauh
mungkin.
Ingat pesan Papa, jaga Mamamu!"
"Soyez
tranguille I will Papa, I will." Perlahan aku keluar, Mama memegangiku. Tiba-tiba salah
seorang dari mereka melihat kami. Kami bergegas.
"Noubliez
pas, Anna, 'Asyhaduanla ilaha....."
"Illallah,
wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah..." Aku dan Mama membalas,lalu kami
pergi. Para penjahat itu mulai berkumpul.
"Ingat cita-cita
Papa, pouppete, F-16 burung besi kecintaan Papa. Wujudkan cita-cita Papa, Noubliez pas!
J'etaime, J'etaime Isabell, J'etaime
Anna!"
"J'etaime
Papa! J'etaime"
"J'etaime
Charles! J'etaime Mama dan aku lalu pergi berlari. Aku memimpin mengikuti arah bintang,
semak-semak belukar yang melukai kakiku, tidak kuingat
lagi. Pardoner Papa!
Aku
tidak ingat lagi ketika tiba di tempat pemblokiran polisi bagaimana kami menjelaskan kejadiannya,
lalu masuk ke hutan dengan polisi. Aku tidak ingat bagaimana para biadab itu
terkepung. Aku bermimpi, di suatu tempat,
putih,
dan halus. Papa!
"Wonderful
ma pouppete. Kau berhasil. Sekarang jaga mamamu. Papa akan ke
tempat yang akan berkumpul bersama lagi. N'oubliez pas! God is with whom is
patient! Wujudkan cita-cita Papa. Goodbye ma pouppete! Lalu
sosok
Papa menghilang, pandanganku berputar, lalu aku terbangun. Wajah yang saat itu
aku lihat, Mama!
"Oh,
Anna. Anna, be patient. Papa is gone. He's with Lord Now." Mama lalu memelukku erat.
"Kami
berterima kasih," tiba-tiba seorang berkulit hitam berbicara. Wajahnya sedih sekali,"
Papamu telah menyelamatkan hidupku. Dia melindungiku
dari tembakan biadab-biadab itu. Papamu tidak
menderita, dia pergi dengan senyum di wajahnya. Dia teus mengucap
'Allah...Allah', dan dia sempat
meninggalkan
pesan untukmu," Anna, ma pouppete, jaga mamamu. Ingat cita-cita Papa.
Preir
to Dioer, J'etaime..." aku menangis, Mama juga. Papa kini telah pergi, tapi ke tempat yang lebih
baik. Sampai aku juga kesana. Wait for me, Papa. I'll make your dreams come true. J'etamine..
***
Papa
mendapat gelar kehormatan dari pemerintah AS. Hidup Mama dan aku mendapat
tunjangan, dan aku mendapat beasiswa. Aku melanjutkan ke sekolah militer. Mama, dengan
tabah, membangun kembali dirinya. Beliau
mengajar
sastra Perancis di universitas-universitas Portland dan Seattle. Mama juga aktif mendakwahkan Islam di
berbagai tempat. Perlahan kami membangun kembali keluarga kami, grandma bahkan memaafkan mama dan
memutuskan untuk
pindah ke Amerika untuk membantu Mama. Namun dengan hakus Mama menolak.
Katanya,
"I can raise my own child, trust me momm."
***
Mesin
pesawat berbunyi halus. Sayap F-16 yang kokoh ini membawaku terbang ke angkasa. Hari ini,
Anna Marie Fatimah Jacquet, penerbang muslimat pertama, mewujudkan cita-cita
Papa. Terus membumbung tinggi ke langit yang dicintai Papa. A'toute a I'houre Papa. Sampai
kita bertemu kembali....
Keterangan:
N'oubliez
pas: jangan lupa
Soyez
tranguille: jangan khawatir
Allez
vouz-en: larilah
A'toute
I'heure: selamat tinggal
J'etaime
aku mencintaimu
Chest
la vie: inilah hidup
Aller
puor tranguille: pergilah ke kamar
Harlem:
tempat perkampungan orang-orang negro
Wassalamu’alaikum